THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Saturday, January 14, 2006

tentang PTT

Indonesia belum siap untuk bisa sehat tanpa dokter puskesmas.
Baru sekian tahun Indonesia mencoba aturan baru: hapuskan wajib kerja sarjana ke daerah bagi dokter; timbul polio, masalah kurang gizzi merebak, tingkat kesehatan masy turun. Berbagai alasan dianalisis sebagai argumentasi perlunya penghapusan wajib PTT. Mulai dari ketidakmampuan pemerintah untuk membayar honor dokter (yang biasanya di-rapel 3bulan,dibelakang...), sampai kebutuhan bangsa akan ilmuwan2 muda, hak dokter untuk mengenyam pendidikan di usia muda. Tuntutan yang cukup masuk diakal, apalagi ketika honor dokter PTT kerap kali terlambat padahal keberadaan mereka disana adalah suatu kewajiban. Tak mengherankan kalau sekarang ternyata banyak puskesmas daerah terpencil tidak memiliki dokter. Selain karena, gaji yang minimal dan sering telat, serta tuntutan yang (kadang) terlalu tinggi. Berapa banyak sih dokter baru lulus yang mau pergi ke daerah terpencil, mengajukan lamaran untuk bekerja di puskesmas terpencil, dengan gaji minimal yang sering terlambat, tanpa akses untuk pendidikan kedokteran berkelanjutan, tanpa akses untuk pelayanan kesehatan yang baik bahkan seringkali harus membeli obat sendiri untuk diberikan ke pasiennya karena kiriman obat untuk puskesmas sering terlambat dan tidak mencukupi???? Kurasa mereka yang seperti itu bisa dihitung jari.

Sekarang pemerintah mulai merencanakan untuk kembali ke peraturan lama, mewajibkan PTT bagi dokter baru lulus. [sigh..] Menurut 'bocoran' orang dalem, rumusan peraturannya memang belum disusun. Semua itu baru ide yang dilontarkan secara lisan oleh para pejabat bersangkutan dan belum didukung usaha penyusunan peraturan baru (lagi). Namun hal penyusunan peraturan seperti itu bisa saja selesai dalam waktu satu minggu (katanya). Sistem kebut seminggu. Suatu kebiasaan yang jelek yang entah kenapa masih dipertahankan sampai sekarang: membuat peraturan baru tanpa persiapan yang matang, tanpa didukung data dan bahan yang memadai. Yang penting jadi. Suatu pola pikir jangka pendek yang tanpa mereka sadari mampu mempermainkan dan mengombang-ambingkan nasib ratusan dokter baru lulus. Tak peduli bahwa bahasa peraturan yang baru jadi itu ambigu dan menimbulkan berbagai interpretasi berbeda. Tak peduli bahwa infrastruktur pendukung peraturan itu belum siap dan bahkan belum tahu infrastruktur apa yang diperlukan.
Pengalaman seorang kakak kelas yang ingin pergi PTT setelah sebelumnya menyatakan akan menunda PTT: formulir pembatalan penundaan PTT versi Konsil Kedokteran Indonesia (yang sekarang menjadi pusatnya registrasi dokter) ternyata belum ada (entah belum dicetak, atau bahkan belum dirancang!!!)

Ide untuk kembali mewajibkan PTT tidak buruk, asal jelas. Jelas memberikan fasilitas yang memadai bagi setiap dokter yang menjalankan kewajiban itu: fasilitas gaji yang memadai, fasilitas kesempatan untuk menjalani pendidikan kedokteran yang berkelanjutan, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai.
Seorang dokter bukan dewa. Ia butuh makan, minum, pendidikan, dan semua yang dibutuhkan manusia pada umumnya.