THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Tuesday, October 03, 2006

Matematika..

(mungkin menjadi) Salah satu alasan mengapa kaum kurang berpendidikan cenderung konsumtif....

Ketika gaji satu bulan sebagai pembantu rumah tangga yang hanya 200 ribu rupiah saja itu hendak dihabiskan seluruhnya untuk membeli sebuah hape bekas, kepalaku menggeleng....
“Bagaimana kemudian mau beli pulsa kalau uang gaji sudah dihabiskan beli handsetnya?”

Ketika ngomel karena motor kreditannya diambil kembali oleh dealer karena tidak mampu bayar cicilan kedua dengan berpenghasilan sebagai tukang ojek, aku bingung.
“Memangnya penghasilan dari ngojek cukup untuk hidup sehari-hari sekaligus bayar cicilan?”

Semakin banyak berhubungan dengan mereka yang kurang beruntung untuk dapat mengenyam pendidikan yang cukup, semakin banyak pula contoh-contoh kasus serupa. Sebelum ini, aku masih tak habis pikir bagaimana otak mereka berjalan. Bukankan kedua kasus sudah dapat diprediksi kelanjutnya sejak awal?
Kasus pertama, tentunya akan menggunakan pulsanya untuk hal-hal yang tidak penting (alias boros; mengingat pekerjaannya sebagai pembantu rumah tangga yang tidak banyak berinteraksi dengan dunia luar). Kemudian dia akan ribut tidak punya pulsa. Mungkin pinjam sana sini untuk beli pulsa, masih untuk tujuan yang ga jelas. Bukan tidak mungkin akan digunakan untuk ikut serta kuis-kuis di televisi, atau untuk mendapat sms dari para artis (yang biaya sekali terima sms kira-kira rp2000)
Kasus kedua, seandainya ia memperhitungkan antara kemungkinan penghasilan yang akan ia dapat sebagai tukang ojek dengan biaya hidup yang ia butuhkan serta uang cicilan yang wajib ia bayar, mungkin ia tidak perlu mengalami kekecewaan saat motor kreditan itu diambil. Diperkirakan, penghasilan bersih dari ngojek sekitar rp10.000 per hari (lokasi di kawasan pedesaan jawa barat). Biasanya, butuh uang dengan jumlah yang sama untuk makan dia dan keluarganya. Jadi, mana uang tabungan untuk cicilan motor?

Tinggal di kabupaten ini, dalam wilayah propinsi paling barat Indonesia tercinta, baru aku tahu ternyata seorang lulusan D3 perawat, calon perawat yang masih kuliah, lulusan SMA, mahasiswa calon guru, serta siswa SMA kelas 1, tidak tahu berapa persenkan 3 per 30 itu. Alasannya sudah lupa, tidak diajarkan, atau belum diajarkan. Jawabanku: MANA MUNGKIN? Terlalu sulitkah hitungan persen itu, atau segini buruknya kan pelajaran matematika di kabupaten ini?
Pertanyaan ku perluas merambah daerah pecahan: setengah tambah setengah, satu per empat tambah tiga per empat, seputar itu lah kira-kira. Juga kutanya, berapa persenkan setengah dan seperempat itu? Dari semua yang kutanya (convinient sampling yang jumlahnya masih jauh dari adekuat..) hanya satu orang yang akhirnya mampu menjawab, setelah berpikir selama kurang lebih setengah jam untuk setiap pertanyaan.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun...

Setelah pengalaman ini baru kusadar artinya matematika dalam hidup. Bukan untuk hitung duit, laba atau rugi, hasil penjualan hari ini, dan seputar itu. Tapi untuk perencaan serta pikiran abstrak. Dengan matematika dasar (dan tidak tercakup di dalamnya masalah bangun ruang/geometri, trigonmetri, dan benda-benda aneh lainnya yang ikut diujikan dalam matematika dasar SPMB), seseorang dapat memahami mengapa pulsa GSM yang 100ribu itu bisa menjadi lebih murah daripada yang 5ribu atau 20ribuan. Atau, membeli detergen 1 kg dengan harga 12 ribu rupiah lebih murah dari memberi 6 kantong detergen 75 gram dengan harga satuan 2ribu rupiah. (sigh...)
Betapa menyedihkannya pendidikan bangsa ini...

Wednesday, September 27, 2006

Nuansa ramadhan

4 Ramadhan 1427 H

Buat aku dan mecca, bukan ini yang termasuk dalam definisi ‘nuansa ramadhan’. Bukan tutupnya warung disiang hari, atau tidur seharian penuh, atau bangun kesiangan untuk bekerja, atau merasa lemas seharian karena berpuasa. Bukan ini

Sekali lagi, perasaan superioriti etnis ini membuatku defensif. Mereka mengatakan, hanya di aceh terasa dengan benar nuansa dan suasana ramadhan. Alasaanya tidak ada satupun warung makanan yang buka disiang hari. Sementara di tempat lain, tukang bakso pun tetap berjualan disiang hari.
Buatku, bukan ini yang namanya ‘suasana ramadhan’. Apa bedanya ramadhan dengan bulan lainnya, kalau yang tidak sholat tetap tidak shalat, kecuali tarawih di masjd malam hari. Apa bedanya ramadhan dengan bulan lainnya kalau tidak ada yang berlomba-lomba beramal saleh dan meraih pahala. Tidak ada tilawah, kecuali pengurus masjid yang pada waktu tengah malam membaca Al-Quran melalui loud speaker dan mengganggu istirahat orang lain.
Puasa dijadikan alasan untuk mengurangi kerja. Puasa dijadikan alasan untuk merasa lemas dan lemah. Puasa dijadikan alasan untuk makan banyak diwaktu buka. Puasa dijadikan alasan untuk tidak produktif. Puasa telah berubah fungsi menjadi sebuah topeng.

Bukan ini yang aku anggap sebagai suasana ramadhan.

Wednesday, May 17, 2006

Maafkan aku sahabat, aku pergi dulu

Seharusnya aku berbahagia, akhirnya penantian panjang untuk pergi PTT di Aceh akhirnya berakhir. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Air mata menetes setiap kali mengingat bahwa tangal 22 mei ini, yaitu 6 hari sebelum tanggal 28 mei, aku berangkat ke aceh.

Sejak awal memutuskan untuk mendaftar pergi PTT, aku sudah mencoba rela untuk tidak berada di jakarta pada tanggal 28 mei, tanggal yang akan menjadi sangat bersejarah untuk kedua saudara ku yang walaupun bukan saudara kandungku tetapi seperti sudah melebihi batas saudara kandung. Tapi sampai hari ini aku masih disini, di jakarta. Tak pernah mengira bahwa h-6 ternyata aku akan meninggalkan jakarta. Padahal kebaya seragamku sudah di tukang jahit.

Alhasil, setiap membahas kepergianku yang tanggal 22 itu, atau mengingat kebaya yang sedang di tukang jahit, kelenjar air mata terpaksa berproduksi lebih, tetes-tetes air mata perlahan mengalir, terasa kepedihan yang mendalam. Tak kukira juga, bahwa kepergian ku ternyata akan seperti ini, begitu sulit dan berat.

Tapi aku harus istiqomah di jalan-Nya. Alasan utama kepergianku adalah untuk ibadah. Mungkin ini hanya salah satu ujian dari Yang Mahakuasa. Bisakah aku mengambil keputusan yang terbaik di mata-Nya (dan bukan di mata ku) ?????? Insya Allah.
Bukankah jihad di jalan-Nya lebih penting dan lebih besar dari apapun.
Tapi mengapa hatiku merasa sangat pedih, hanya karena aku tak bisa menghadiri pernikahan saudaraku-sahabatku yang tanpa kusadari telah kunanti sejak awal persahabatan kami.......

Maafkan aku sahabat. Walaupun aku tidak hadir secara fisik di hari penting mu, insya Allah, hatiku dan doaku tetap bersamamu...

Wednesday, April 19, 2006

PTT untuk dokter tidak pernah tidak wajib....

hanya sedikit tertunda.....

Peraturan WKS (wajib kerja sarjana) mewajibkan para dokter yang baru lulus untuk 'mengabdi' pada negara dalam kurun waktu tertentu pada suatu daerah tertentu dimanapun di seluruh nusantara. Walalupun tidak pernah disebutkan bahwa peraturan ini khusus dokter, namun hanya dokter umum yang terkena kewajiban melaksanakan peraturan ini.
Tanya Ken-Apa?
Waktu pun berlalu. Semakin lama, pemerintah semakin terlena dengan pengabdian pada dokter di daerah terpencil. Pelayanan kesehatan di negara ini telah merata, terutama dengan adanya mereka yang mengabdi di daerah terpencil, begitu kata pemerintah. Para dokter itu pun mendapat julukan 'ujung tombak terdepan' dalam pelayanan kesehatan di masyarakat. Seandainya apresiasi pemerintah terhadap kerja keras pada dokter di daerah terpencil itu berlangsung konsisten, mungkin tidak akan ada demo para dokter yang menuntut penghapusan peraturan WKS. Bagaimanapun, 'ujung tombak terdepan' itupun punya hak hidup, punya penghidupan yang layak, dan kemampuan menghidupi keluarganya dengan layak. Inkonsistensi pemerintah dalam menghargai kerja keras dokter berawal dari keterlambatan gaji satu bulan, lalu dua bulan, lalu tiga bulan, dan seterusnya. Memang hal ini tidak terjadi di setiap tempat, namun cerita semacam ini sudah biasa dan lazim bagi dokter PTT. Belum lagi suplai obat-obatan dan alat kesehatan yang sering tidak memadai atau terlambat. Alasannya tidak banyak bervariasi, daerah terpencil sulit dijangkau sehingga kirimannya terlambat, atau masalah birokrasi yang memakan waktu. Jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah? Betul???
Hasil dari demo para dokter, undang-undang WKS memang dihapuskan. Diganti dengan peraturan yang menyatakan bahwa PTT untuk dokter tidak wajib. Sekarang dokter yang baru lulus punya lebih dari satu pilihan. Bisa tetap PTT ke daerah, baik dengan penempatan oleh pusat ataupun langsung ke pemerintah daerah, atau mengajukan diri ke BUMN dan LSM untuk kemudian dianggap PTT alias pengabdian kepada negara. Kalau diperhatikan, kok semua pilihan tetap mengarah ke PTT ya??? Memang. Semua kecuali satu. PTT boleh ditunda untuk mengikuti pendidikan dokter spesialis. Setelah selesai, ya tetap PTT juga... Jadi, apakah pernah pilihan PTT itu tidak wajib?????

Saturday, January 14, 2006

tentang PTT

Indonesia belum siap untuk bisa sehat tanpa dokter puskesmas.
Baru sekian tahun Indonesia mencoba aturan baru: hapuskan wajib kerja sarjana ke daerah bagi dokter; timbul polio, masalah kurang gizzi merebak, tingkat kesehatan masy turun. Berbagai alasan dianalisis sebagai argumentasi perlunya penghapusan wajib PTT. Mulai dari ketidakmampuan pemerintah untuk membayar honor dokter (yang biasanya di-rapel 3bulan,dibelakang...), sampai kebutuhan bangsa akan ilmuwan2 muda, hak dokter untuk mengenyam pendidikan di usia muda. Tuntutan yang cukup masuk diakal, apalagi ketika honor dokter PTT kerap kali terlambat padahal keberadaan mereka disana adalah suatu kewajiban. Tak mengherankan kalau sekarang ternyata banyak puskesmas daerah terpencil tidak memiliki dokter. Selain karena, gaji yang minimal dan sering telat, serta tuntutan yang (kadang) terlalu tinggi. Berapa banyak sih dokter baru lulus yang mau pergi ke daerah terpencil, mengajukan lamaran untuk bekerja di puskesmas terpencil, dengan gaji minimal yang sering terlambat, tanpa akses untuk pendidikan kedokteran berkelanjutan, tanpa akses untuk pelayanan kesehatan yang baik bahkan seringkali harus membeli obat sendiri untuk diberikan ke pasiennya karena kiriman obat untuk puskesmas sering terlambat dan tidak mencukupi???? Kurasa mereka yang seperti itu bisa dihitung jari.

Sekarang pemerintah mulai merencanakan untuk kembali ke peraturan lama, mewajibkan PTT bagi dokter baru lulus. [sigh..] Menurut 'bocoran' orang dalem, rumusan peraturannya memang belum disusun. Semua itu baru ide yang dilontarkan secara lisan oleh para pejabat bersangkutan dan belum didukung usaha penyusunan peraturan baru (lagi). Namun hal penyusunan peraturan seperti itu bisa saja selesai dalam waktu satu minggu (katanya). Sistem kebut seminggu. Suatu kebiasaan yang jelek yang entah kenapa masih dipertahankan sampai sekarang: membuat peraturan baru tanpa persiapan yang matang, tanpa didukung data dan bahan yang memadai. Yang penting jadi. Suatu pola pikir jangka pendek yang tanpa mereka sadari mampu mempermainkan dan mengombang-ambingkan nasib ratusan dokter baru lulus. Tak peduli bahwa bahasa peraturan yang baru jadi itu ambigu dan menimbulkan berbagai interpretasi berbeda. Tak peduli bahwa infrastruktur pendukung peraturan itu belum siap dan bahkan belum tahu infrastruktur apa yang diperlukan.
Pengalaman seorang kakak kelas yang ingin pergi PTT setelah sebelumnya menyatakan akan menunda PTT: formulir pembatalan penundaan PTT versi Konsil Kedokteran Indonesia (yang sekarang menjadi pusatnya registrasi dokter) ternyata belum ada (entah belum dicetak, atau bahkan belum dirancang!!!)

Ide untuk kembali mewajibkan PTT tidak buruk, asal jelas. Jelas memberikan fasilitas yang memadai bagi setiap dokter yang menjalankan kewajiban itu: fasilitas gaji yang memadai, fasilitas kesempatan untuk menjalani pendidikan kedokteran yang berkelanjutan, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai.
Seorang dokter bukan dewa. Ia butuh makan, minum, pendidikan, dan semua yang dibutuhkan manusia pada umumnya.